Gadai/jaminan adalah akad yang tujuannya memberikan jaminan kepercayaan bagi pelaku akad. Akad ini sifatnya adalah tambahan. Bisa ditambahkan pada akad yang lain. Oleh karena itu, tidak ada perpindahan kepemilikan pada barang gadai. Pada pelaksanaannya, transaksi gadai umum digunakan sebagai tambahan akad qardh (hutang). Sehingga orang yang berhutang, menggadaikan barang yang dimilikinya kepada pemberi hutang untuk memberikan jaminan kepercayaan agar diberikan pinjaman.
Sifat dari transaksi ini antara lain barang gadai statusnya adalah amanah sehingga kepemilikian tetap pada pemberi barang gadai. Semua biaya perawatan barang gadai, ditanggung oleh pemilik barang. Kemudian jika terjadi gagal bayar (wanprestasi), barang gadai tidak serta merta berpindah kepemilikannya.
Hukum gadai secara umum diperbolehkan.
Dalil dari Al-Qur’an
مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إن وَ
“Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah : 283)
Dalil dari Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar transaksi Gadai sesuai dengan ketentuan syariah.
- Pemberi hutang tidak boleh memanfaatkan barang Gadai
Transaksi gadai ini hanya bertujuan untuk memberikan jaminan kepercayaan dan keamanan kepada pemberi hutang, dan bukan untuk memberi keuntungan bagi pihak yang menerima gadai (yang memberi hutang). Jika ada manfaat atau keuntungan yang diterima oleh pemberi hutang, hal tersebut adalah Riba
كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” (HR. Baihaqi)
Termasuk keuntungan dalam pemanfaatan barang gadai dalam transaksi utang piutang, meskipun telah diizinkan oleh pemilik barang.
- Biaya Perawatan Disesuaikan dengan Nilai Hutang atau Harga Barang Gadai
Hal berikutnya yang harus diperhatikan dan mungkin masih terjadi hingga saat ini yaitu biaya yang dibebankan untuk perawatan barang Gadai bukan biaya riil. Akan tetapi disesuaikan dengan jumlah pinjaman atau nilai barang gadai.
Contoh :
A berhutang kepada pegadaian syariah sebesar Rp.5.000.000 dengan barang gadai sebuah Laptop (nilainya Rp.6.000.000). Sedangkan B berhutang di tempat yang sama sebesar Rp.50.000.000 dengan barang gadai Logam Mulia 100 gr (nilai Rp.60.000.000). Masing-masing dari A dan B sepakat akan mengembalikan hutang kepada pegadaian syariah setelah jangka waktu 24 bulan (2 tahun).
Pada saat jatuh tempo, A dan B wajib mengembalikan hutang disertai dengan tambahan biaya perawatan barang gadai masing-masing. Total A harus membayar kepada pihak Pegadaian Syariah sebesar Rp.7.000.000 (biaya perawatan Laptop sebesar Rp2.000.000). Sedangkan total yang harus dibayar B adalah Rp. 70.000.000 (biaya perawatan Logam Mulia Rp.20.000.000).
Penerima barang gadai membebankan biaya 10 kali lipat untuk biaya perawatan Logam Mulia yang ukuran dan beratnya jauh lebih kecil dibandingkan Laptop. Jika kita telaah, seharusnya biaya perawatan emas jauh lebih kecil dibandingkan biaya perawatan laptop. Karena laptop membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar dan perawatan yang lebih ekstra agar tidak rusak sehingga pada saat barang gadai dikembalikan laptop masih dapat berfungsi dengan baik.
Hal ini merupakan cara yang tidak dibenarkan dan ini merupakan cara untuk “mengakali” praktik RIBA. Dimana sebenarnya praktik Gadai seperti ini ingin membebankan BUNGA sebesar 40% dengan tenor 2 tahun untuk pinjaman yang diberikan kepada penerima pinjaman.
Wallahu a’lam bishawab