Penjelasan : Kesabaran balasannya berlipat ganda tanpa batas dari Allah swt., dan ini menunjukkan bahwa pahalanya sangat besar. Manusia tidak akan mungkin dapat menggambarkan betapa besarnya pahala ini, karena tidak dapat dihitung dengan angka. Bahkan, ini merupakan perkara yang diketahui Allah dan tidak ada hitugan padanya.
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu…” (QS. Ali ‘Imran [3]:200)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
“…Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)
“Tetapi, orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (oerbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS. Asy-Syura [42]: 43)
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu…” (QS. Muhammad [47]: 31)
Ayat-ayat yang mengandung perintah untuk bersabar dan yang menerangkan keutamaan sabar itu banyak sekali yang sudah diketahui.
1/25. Abu Malik Al-Harits bin ‘Ashim Al-Asy’ari ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bersuci adalah sebagian dari iman dan (bacaan) alhamdulillah itu memenuhi timbangan, (bacaan) subhanallah dan sedekah adalah sebagai bukti, sabar merupakan cahaya, Al-Qur’an adalah merupakan hujjah (pembela) untukmu atau sebagai hujjah (pemberat) bagimu. Setiap orang berangkat menjual dirinya, ada yang memerdekakan dirinya dan ada yang menghancurkan dirinya.” (HR. Muslim Bab Thaharah no.223)
Penjelasan: Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw. mengelompokkan orang menjadi beberapa bagian. Sekelompok menjadikan Al-Qur’an sebagai hujjah (pembela) bagi mereka, dan sekelompok lainnya menjadikan Al-Qur’an sebagai hujjah (penggugat) bagi mereka. Dan sekelompok yang lain adalah orang-orang yang mendekatkan diri dengan amalan mereka yang shaleh, dan sekelompok yang lainnya adalah orang-orang yang menghancurkan diri mereka dengan amalan yang jelek.
2/26. Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sinan Al-Khudri ra. bahwa ada beberapa orang dari kaum Anshar meminta (sedekah) kepada Rasulullah saw. lalu beliau memberikan sesuatu kepada mereka. Kemudian mereka memnita lagi dan beliau pun memberinya lagi sehingga habislah harta yang ada di sisi beliau. Ketika beliau memberikan sesuatunya dengan tangannya, beliau sembari bersabda kepada mereka, “Apa saja yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya. Dan barangsiapa yang merasa dirinya cukup, maka Allah akan mencukupinya. Dan barangsiapa yang berlaku sabar, maka Allah akan membuatnya sabar. Tiada seorang pun yang dikaruniai suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas dari kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 1469 dan Muslim: 1053)
Penjelasan: Sesungguhnya bagi seorang hamba muslim apabila Allah menganugerahkan kesabaran padanya, maka itu merupakan sebaik-baik pemberian dari apa yang diberikan bagi seorang manusia, dan sesuatu yang paling luas dari apa yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, ia senantiasa merasakan ketenangan hati dan ketenangan jiwa.
3/27. Abu Yahya Shuhaib bin Sinan ra. berkata, Rasulullah bersabda, “Sangat mengagumkan sekali keadaan seorang mukmin itu. Semua keadaannya itu merupakan kebaikan baginya, dan yang demikian itu hanya bagi seorang mukmin. Apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, ia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Dan apabila ia ditimpa oleh kesulitan (musibah), ia pun bersabar dan hal ini pun maerupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim: 64/2999)
Penjelasan: Hadits ini mengandung beberapa faedah, diantaranya mengajarkan keimanan bahwa seseorang mukmin itu senantiasa ada dalam kebaikan dan kenikmatan, mengajarkan untuk bersabar atas setiap kesulitan karena itu bagian seorang mukmin, dan juga mengajarkan untuk senantiasa bersyukur ketika mendapat kebahagiaan. Karena, syukur itu merupakan bagian dari sebab bertambahnya kenikmatan.
4/28. Anas ra. berkata, “Ketika sakit Nabi saw. sudah semakin parah, maka beliau pun diliputi oleh kedukaan (menghadapi sakaratul maut). Kemudian Fathimah ra. berkata, ‘Kesukaran yang dihadapi ayahanda.’ Lalu beliau bersabda, ‘Ayahmu tidak akan memperoleh kesulitan lagi setelah hari ini.’ Selanjutnya setelah beliau wafat, Fathimah ra. berkata, ‘Wahai ayahku yang telah memenuhi panggilan Rabbnya. Wahai ayahku surga Firdaus adalah tempat kediamannya. Wahai ayahku, kepada Jibril kami sampaikan berita wafatnya.’
Kemudian setelah beliau dikebumikan, Fathimah ra. berkata pula, ‘Apakah hati kalian semua merasa tenang dengan menyebarkan tanah di atas makam Rasulullah saw. itu?” (HR. Al-Bukhari: 4462)
Penjelasan: Hadits ini menjelaskan bahwa tidak mengapa seseorang mengeluh selama ia tidak mengundang amarah Allah swt. Fathimah mengeluh ketika melihat Rasulullah saw tetapi tidak berlebihan dan tidak menunjukkan penolakannya atas takdir Allah swt.
5/29. Abu Zaid Usamah Bin Zaid Bin Haritsah, pelayah Rasulullah saw., kekasih dan anak kekasih beliau ra. berkata, “Salah seorang putri Nabi saw. mengutus seseorang untuk memberitahu kepada beliau bahwa anaknya sedang sakaratul maut. Maka kami diminta untuk datang, kemudian beliau hanya mengirimkan salam, seraya bersabda, ‘Menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi. Dan segala sesuatunya telah ditentukan di sisi-Nya, maka hendaklah kamu sabar dan mohonlah pahala kepada Allah.’ Kemudian putri beliau mengirimkan berita kembali kepada beliau yang disertai sumpah serapah agar belaiu berkenan untuk hadir.
Maka berdirilah beliau disertai Sa’ad bin ‘Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa sahabat yang lain. Maka diberikan anak yang sakit itu kepada Rasulullah saw dan didudukkan di pangkuan beliau, sedangkan nafasnya tersengal-sengal. Yang terjadi kemudian, meneteslah air mata beliau. Melihat hal itu, Sa’ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini?’ Beliau menjawab, ‘Tetesan air mata ini adalah rahmat yang dikaruniakan Allah Ta’ala ke dalam hati para hamba-Nya.’
Dalam riwayat lain disebutkan, “Ke dalam hati hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Seseungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hamba-Nya yang mempunyai rasa sayang.” (Mutafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari” 1248 dan Muslim: 923)
Makna taqa’qa’u ialah bergerak dan bergoyang.
Penjelasan: Hadits ini sebagai dalil bolehnya menangis sebagai bentuk kasih sayang pada yang terkena musibah dan wajibnya bersabar sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. selain itu, ta’ziyah (mengunjungi yang terkena musibah) adalah sebagai bentuk penghibur dan memberikan kekuatan baginya untuk bersabar.
6/30. Dari Shuaib ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dahulu ada seorang raja dari golongan umat sebelum kalian, ia mempunyai seorang ahli sihir. Setelah penyihir itu tua, ia berkata kepada raja, ‘Sesungguhnya aku ini telah tua, maka kirimkanlah padaku seorang anak yang akan aku turunkan ilmu sihirku.’ Kemudian raja itu mengirimkan padanya seorang anak untuk diajarinya. Anak ini di tengah perjalanannya apabila bertemu dengan seorang rahib, ia pun duduk padanya dan mendengarkan nasihat-nasihatnya. Apabila ia telah datang di tempat penyihir, ia pun melalui tempat rahib tadi dan kemudian ia duduk padanya. Maka apabila datang di tempat penyihir, ia pun dipukul olehnya. Hal yang demikian itu diadukan oleh anak itu kepada rahib, lalu rahib berkata, ‘Jika engkau takut pada penyihir itu, katakanlah bahwa engkau ditahan oleh keluargamu. Dan jika engkau takut pada keluargamu, maka katakanlah engkau ditahan oleh penyihir.
Pada suatu ketika di waktu itu ia dalam keadaan yang demikian itu, lalu tibalah ia di suatu tempat dan di situ ada seekor binatang yang besar yang menghalangi orang banyak (di jalan yang dilalui mereka). Anak itu lalu berkata, ‘Pada hari ini saya akan mengetahui, apakah penyihir itu yang lebih baik ataukah rahib itu yang lebih baik.’ Ia pun mengambil sebuah batu kemudian berkata, ‘Ya Allah, apabila perkara rahib itu lebih dicintai di sisi-Mu daripada perkara penyihir, maka bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang banyak dapat berlalu.’ Selanjutnya batu itu dilemparnya kepada binatang, kemudian binatang itu pun terbunuh sehingga orang-orang bisa berlalu.
Ia lalu mendatangi rahib memberitahukan hal tersebut. Rahib itu pun berkata, ‘Hai anakku, engkau sekarang lebih mulia dariku. Keadaanmu sudah sampai pada tingkat sesuai apa yang saya lihat. Sesungguhnya engkau akan mendapat cobaan, maka jika benar demikian, janganlah menyebut namaku.’
Lalu anak itu dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit lepra serta dapat mengobati orang banyak dari segala macam penyakit. Maka hal demikian itu didengar oleh sahabat karib raja yang telah menjadi buta. Ia pun datang pada anak itu dengan membawa hadiah yang banyak jumlahnya, lalu ia berkata, ‘Apa saja yang ada di sisimu ini menjadi milikmu, apabila engkau dapat menyembuhkan aku.’ Anak itu berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan siapapun. Hanya Allah yang dapat menyembuhkannya. Maka jika engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa kepada Allah semoga Dia menyembuhkan Engkau.’
Sahabat raja itu lalu beriman kepada Allah, kemudian Allah menyembuhkannya. Kemudian ia mendatangi raja lalu duduk di dekatnya sebagaimana duduknya yang seperti biasa. Raja kemudian bertanya, ‘Siapakah yang mengembalikan penglihatanmu itu?’ Ia menjawab, ‘Rabbku.’ Raja bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai Rabb selain aku?’ Ia menjawab, ‘Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.’ Maka ia pun ditindak oleh raja itu dan menyiksanya secara terus-menerus, sehingga ia pun menunjuk kepada anak yang menyebabkan kesembuhannya. Anak itu pun didatangkan. Raja berkata padanya, ‘Hai anakku, kiranya sihirmu sudah sampai ke tingkat dapat menyembuhkan orang buta dan yang berpenyakit lepra dan engkau dapat melakukan ini dan dapat pula melakukan itu.’ Anak itu berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun. Allah yang menyembuhkannya.’
Maka anak itu pun ditindak dan disiksa secara terus menerus sehingga anak itu menunjuk kepada sang rahib. Maka rahib pun didatangkan, kemudian kepadanya dikatakan, ‘Kembalilah dari agamamu!’ Pendeta itu enggan (menolak perintah raja). Lalu raja meminta supaya diambilkan gergaji, kemudian diletakkanlah gergaji itu di tengah kepalanya. Kemudian dia membelahnya hingga jatuhlah kedua belahan kepala tesebut. Selanjutnya didatangkan pula sahabat karib raja tadi, lalu raja berkata, ‘Kembalilah dari agamamu!’ Ia pun enggan (menolak perintah raja) kemudian diletakkan pula gergaji itu ditangah kepalanya lalu membelahnya, sehingga jatuhlah kedua belahan kepalanya.
Selanjutnya didatangkan pula anak itu. Kepadanya dikatakan, ‘Kembalilah dari agamamu!’ Ia pun enggan (menolak ajakan raja). Kemudian anak itu diserahkan kepada sekelompok sahabatnya (tentaranya) lalu berkata, ‘Pergilaha bawa anak ini ke gunung ini atau itu, naiklah dengannya ke gunung itu. Jika engkau semua telah sampai di puncaknya, maka apabila anak ini kembali dari agamanya, lepaskanlah. Namun, jika tidak maka lemparkanlah ia dari atas gunung itu.’
Sahabat-sahabatnya itu pergi membawanya, kemudian menaiki gunung. Anak itu pun berdoa, ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendak-Mu.’ Kemudian gunung itu bergoncang keras dan mereka semuanya jatuh. Anak itu lalu datang berjalan menuju tempat raja. Maka raja berkata kepadanya, ‘Apa yang dilakukan kawan-kawanmy?’ Ia menjawab, ‘Allah Ta’ala telah mencukupiku dari tindakan mereka.’ Lalu anak tersebut pun kemudian diserahkan kepada sekelompok sahabat-sahabatnya yang lain lagi dan berkata, ‘Pergilah dengan membawa anak ini dalam sebuah sampan dan berlayarlah sampai di tengah lautan. Jika ia kembali dari agamanya (maka lepaskanlah ia). Tetapi jika tidak, maka lemparkanlah ke lautan itu.’
Orang-orang itu pun membawanya, lalu anak itu berdoa, ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendak-Mu.’ Tiba-tiba sampan itu terbalik, maka tenggelamlah mereka semua. Dan anak itu datang berjalan ke tempat raja. Raja pun berkata, ‘Apakah yang dikerjakan oleh kawan-kawanmu?’ Ia menjawab, ‘Allah Ta’ala telah mencukupiku dari tindakan mereka.’ Selanjutnya ia pun berkata kepada raja, ‘Sesungguhnya engkau tidak akan dapat membunuhku, hingga engkau bersedia melakukan apa yang aku perintahkan.’ Raja bertanya, ‘Apakah itu?’ Ia menjawab, ‘Engkau kumpulkan semua orang di lapangan luas, lalu saliblah aku di atas sebuah pelepah. Kemudian ambillah sebatang anak panah dari tempat panahku, lalu letakkanlah anak panah itu pada busurnya dan ucapkanlah, “Dengan nama Allah, Rabb anak ini.’ Setelah itu, lesakkanlah anak panah itu. Apabila engkau mengerjakan semua itu, tentu engkau dapat membunuhku.’
Maka raja pun mengumpulkan semua orang di suatu padang luas. Lalu anak itu disalib pada sebuah pelepah, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat panahnya. Setelah itu, dia meletakkan anak panah di busur, lalu mengucapkan ‘Dengan nama Allah, Rabb anak ini.’
Anak panah pun dilesakkan dan tepat mengenai pelipis anak tersebut. Anak itu meletakkan tangannya di pelipisnya, kemudian meninggal dunia. Maka orang-orang pun berkata, ‘Kami semua beriman kepada Rabb anak ini.’ Raja pun didatangi dan kepadanya dikatakan, ‘Apakah tuan mengetahui apa yang selama ini tuan takutkan? Benar-benar demi Allah, apa yang tuan takutkan itu telah tiba. Orang-orang semuanya telah beriman.’
Maka raja memerintahkan supaya membuat parit besar di jalanan lalu dinyalakan api didalamnya. Ia berkata, ‘Barangsiapa yang tidak kembali dari agamanya, maka lemparkanlah ia ke dalamnya.’ Atau dikatakan, ‘Masuklah ke dalamnya.’
Mereka pun melakukannya sehingga datanglah seorang wanita bersama bayinya. Wanita ini agaknya berhenti dan ketakutan. Dan tiba-tiba bayinya berkata, ‘Hai ibunda, bersabarlah, karena sesungguhnya ibu berada di atas kebenaran.” (HR. Muslim: 73/3005)
Dzirwatul jabal artinya puncak gunung. Ini boleh dibaca dengan kasrahnya dzal mu’jamah atau dhammahnya. Al-qurqur, dibaca dengan didhammahkan kedua qafnya, adalah salah satu jenis sampan. Ash-sha’id artinya bumi yang menonjol (bukit). Al-Ukhdud ialah beberapa belahan di bumi seperti sungai kecil. Udhrima artinya menyalakan. Inkafa’at artinya berubah. Taqa’asat artinya terhenti atau tidak berani maju dan merasa ketakutan.
Penjelasan: sesungguhnya Allah swt. mengabulkan doa orang orang yang berada dalam kesulitan, apabila seorang manusia berdoa kepada Rabbnya ketika ia dalam keadaan sulit (bahaya) dan ia yakin bahwa Allah akan mengabulkannya, maka sungguh Allah akan mengabulkan doanya, sehingga orang-orang kafir pun jika mereka berdoa kepada Allah ketika dalam keadaan sulit, maka Allah akan mengabulkan doa mereka.
7/31. Anas ra. berkata, “Nabi saw. berjalan melewati seorang wanita yang sedang menangis di atas sebuah kuburan. Beliau bersabda, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.’ Wanita itu berkata, ‘Menjauhlah dariku, karena engkau tidak terkena musibah sebagaimana musibah yang menimpa diriku dan engkau tidak mengetahui musibah apa itu.’ Lalu dibarutahukan pada wanitu tersebut bahwa yang diajak bicara tadi adalah Nabi saw.. Wanita itu pun mendatangi rumah Nabi saw. hingga di muka pintu dan di depan rumahnya tidak didapatinya para penjaga pintu. Wanita itu lalu berkata, ‘Saya tadi tidak mengenalmu.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kesabaran itu hanyalah saat pertama kali musibah terjadi.’” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Al-Bukhari: 1283)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Wanita itu menangisi anaknya (yang meninggal).”
Penjelasan: Faedah yang terkandung dalam hadits ini adalah bahwa seorang manusia termaafkan karena ketidaktahuan. Apakah ketidaktahuannya terhadap hukum syara’ atau karena keadaan, sebagaimana yang dilakukan oleh wanita di atas terhadap Rasulullah saw.. Selain itu, bahwa kesabaran yang terpuji bagi orang yang bersabar ketika mendapatkan musibah yang pertama, dan menangis di kuburan menunjukkan bahwa ia tidak sabar.
8/32. Abu Hurairah ra. berkata, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak ada balasan bagi seorang hamba-Ku yang mukmin di sisi-Ku, di waktu Aku mengambil (mematikan) kekasihnya dari ahli dunia, kemudian ia mengharapkan keridhaan Allah, melainkan orang itu akan mendapatkan surga’.” (HR. Al-Bukhari: 6424)
Penjelasan: hadits ini sebagai dalil tentang keutamaan sabar atas orang yang diambil kekasihnya di dunia, dan bahwa Allah swt. akan memberikan pahala surga kepada orang yang mengharapkan keridhaan Allah. Selain itu, hadits ini sebagai dalil akan karunia Allah dan kemuliaan-Nya kepada setiap hamba-Nya, karena sesungguhnya kekuasaanitu adalah milik-Nya dan segala urusan itu adalah kehendak-Nya.
9/33. Dari ‘Aisyah ra. bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw. perihal tha’un (wabah penyakit), lalu beliau menjelaskannya bahwa sesungguhnya tha’un itu adalah sebagai siksaan yang dikirimkan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan juga sebagai rahmat yang dijadikan oleh Allah Ta’ala kepada kaum mukminin. Maka tidaklah seorang hamba yang tertimpa tha’un, kemudian ia menetap di negerinya dengan sabar dan mengharapkan keridhaan Allah serte mengetahui pula bahwa tha’un itu tidak akan menimpanya kecuali karena telah ditetapkan oleh Allah untuknya, kecuali ia akan mendapatkan seperti paha orang yang mati syahid. (HR. Al-Bukhari: 5734)
10/34. Anas ra. berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah swt. berfirman, ‘Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan dua kekasihnya, kemudian ia bersabar, niscaya Aku menggantikan keduanya (kedua matanya) dengan surga.’ (Dua kekasihnya) yang dimaksud adalah kedua matanya (penglihatan).” (HR. Al-Bukhari: 5653)
Penjelasan: (Hadits no 33 dan 34): Sesungguhnya seorang hamba yang muslim apabila ia bersabar, menetap, dan mengharapkan keridhaan dari Allah atas wabah penyakit yang menimpanya, dan dia mengetahui bahwa penyakit itu tidak akan menimpanya kecuali karena telah ditetapkan oleh Allah sampai ia meinggal, maka ditetapkan baginya seperti orang yang mati syahid. Ini merupakan karunia dari Allah swt.. Dan sesungguhnya Allah apabila mengambil satu dari kedua mata seorang hamba, kemudian ia sabar dan mengharapkan ridha Allah, maka sesungguhnya Allah akan menggantikannya dengan surga.
11/35. ‘Atha’ bin Abu Rabah meriwayatkan, “Ibnu ‘Abbas ra berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan seorang wanita yang termasuk ahli surga?” Aku menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Wanita yang berkulit hitam ini, ia pernah datang kepada Nabi saw. lalu mengadu, ‘Sesungguhnya saya mempunyai penyakit ayan, dan aurat saya terbuka karenanya. Oleh karena itu, mohonkanlah kepada Allah agar saya diberi kesembuhan.’ Beliau bersabda, ‘Apabila kamu mau bersabar maka bagimu surga, dan apabila kamu mau, saya pun akan berdoa kepada Allah agar engkau diberi kesembuhan.’ Wanita itu menjawab, ‘Saya akan bersabar.’ Kemudian wanita itu berkata lagi, ‘Sesungguhnya aurat saya terbuka karenanya, maka mohonkanlah kepada Allah agar aurat saya tidak terbuka.’ Maka beliau pun berdoa untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 5652)
Penjelasan: hadits ini sebagai dalil akan keutamaan sabar dan bahwa sabar itu salah satu sebab masuk surga. Hal itu terbukti ketika Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu mau bersabar maka bagimu surga.”
12/36. Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Seakan-akan saya masih melihat Rasulullah saw., sewaktu menceritakan salah seorang nabi dari para nabi, semoga shalawat Allah atas mereka. Ketika nabi itu dipukuli kaumnya shingga berlumuran darah, dan ia mengusap darah dari wajahnya sambil berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 3477 dan Muslim: 1792).
Penjelasan: Hadits ini sebagai dalil bahwa kesabaran para Nabi dalam menjalankan dakwah agar kembali kepada Allah, merupakan sebagai pelajaran bagi kita agar kita bisa bersabar dalam menghadapi cobaan ketika berada di jalan Allah, apakah itu berupa perkataan atau perbuatan.
13/37. Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang tertimpa kecelakaan, penyakit, kegundahan, kesedihan, kesakitan, maupun duka cita, sampai duri pun yang menusuknya, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 2541, 5642 dan Muslim: 52/2573)
Al-washab artinya adalah penyakit.
14/38. Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Saya masuk ke tempat Nabi saw. ketika beliau sedang sakit demam. Kemudian saya berkata, ‘Wahai Rasulullah. Sesungguhnya engkau benar-benar menderita demam yang sangat tinggi.’ Beliau memberitahukan, ‘Benar, sakit panas yang saya derita ini dua kali lipat lebih panas dari yang biasa diderita kalian.’ Saya bertanya, ‘Kalau begitu, engkau mendapat pahala dua kali lipat?’ Beliau menjawab, ‘Benar, memang demikianlah keadaannya.’ Dan tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu penyakit, baik itu tertusuk duri maupun lebih dari itu melainkan Allah menghapus kesalahan-kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pepohonan yang menggugurkan daun-daunnya’.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 5648 dan Muslim: 45/2571)
Al-wa’ku yaitu sangat panas (dalam tubuh karena sakit). Dan dikatakan, panas badan (demam).
Penjelasan: (Hadits no 37 dan 38): menjelaskan bahwa seorang hamba apabila terkena musibah walaupun tertusuk duri, hendaknya dia ingat dan mengharap ridha Allah atas musibah yang menimpanya. Apabila seorang hamba ditimpa musibah dan ia semakin bersabar dan mengharap pahala dari Allah, maka baginya pahala atas usahanya untuk bersabar. Dan ini semua merupakan karunia Allah ketika menguji seorang hamba yang beriman, kemudian Dia akan menghapus segala kejelekannya.
15/39. Abu Huarirah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya satu kebaikan, maka Allah akan memberikan musibah padanya.” (HR. Al-Bukhari: 5645)
Wadhbathu (yushib), boleh dibaca dengan difathah dan dikashrah (huruf) shad-nya (yushib/yushab).
16/40. Anas ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian menginginkan mati karena suatu bahaya yang menimpanya. Tetapi seandainya ia terpaksa harus berbuat demikian, maka ucapkanlah: ‘Ya Allah, biarkanlah aku hidup jika hidup itu lebih baik untuk aku dan matikanlah aku apabila kamatian itu merupakan kebaikan untukku. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Al-Bukhari: 5671 dan Muslim: 10/2680)
Penjelasan: (Hadits no 39 dan 40): Rasulullah saw. menjelaskan tentang pahala sabar dan pahala mengharapkan ridha dari Allah dan bahwa seorang hamba harus bersabar dan menerima. Sesungguhnya orang yang diuji dengan berbagai musibah maka itu merupakan kebaikan baginya, karena musibah itu dapat menghapus dosa-dosa itu dan menghapus setiap kesalahan.
17/40. Abu ‘Abdullah Khabbab bin Al-Aratti ra. berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah saw. ketika beliau berbantalkan pakaian burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Kami bertiga, ‘Mengapa engkau tidak memohonkan pertolongan kepada kami? Dan mengapa engkau tidak berdoa memohon kepada Allah untuk kami?’ Beliau bersabda, ‘Pernah terjadi terhadap orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang ditangkap kemudian digalikanlah tanah untuknya dan ia diletakkan di dalam tanah tadi. Selanjutnya, didatangkanlah sebuah gergaji lalu diletakkan di atas kepalanya, kemudian kepalanya itu dibelah menjadi dua bagian, dan disisir dengan sisir yang yang terbuat dari besi yang membuat terkelupas daging dan tulangnya. Semua siksaan itu tidak memalingkan ia dari agamanya. Demi Allah, sungguh Allah akan menyepurnakan perkara ini (Islam), sehingga seseorang yang berkendaraan yang berjalan dari Shan’a ke Hadharamaut tidak ada yang ditakuti melainkan Allah atau karena takut pada serigala atas kambingnya. Namun, kalian semua sanagat tergesa-gesa’.” (HR. Al-Bukhari: 2943, 3852)
Dalam riwayat lain diterangkan, “Beliau saat itu sedang berbantal burdahnya, sungguh kita telah mendapat kesulitan besar dari kaum musyrikin.”
Penjelasan: Hadits ini sebagai dalil wajibnya sabar atas celaan dari musuh kaum muslimin dan apabila seorang hamba bisa sabar, maka ia beruntung. Allah swt. sesungguhnya menguji orag-orang yang beriman atas orang-orang kafir, dimana mereka melukai dan bahkan membunuh mereka, sebagaimana mereka membunuh pada nabi. Maka wajib bagi seorang hamba untuk menerima atas tindakan kaum kafir dengan jalan sabar dan mengharapkan ridha dari Allah dan menanti kemenangan.
18/42. Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Suatu hari pada peperangan Hunain, Rasulullah saw. melebihkan (mengutamakan0 beberapa orang dalam pembagian (harta rampasan), lalu beliau memberikan kepada Al-Aqra’ bin Habis seratus ekor unta dan memberikan kepada ‘Uyainah bin Hishn seperti itu pula (seratus ekor unta). Beliau juga memberikan kepada orang-orang yang termasuk bangsawan Arab dan mengutamakan dalam cara pembagian kepada mereka tadi. Kemudian ada seorang lelaki berkata, ‘Demi Allah, pembahagian seperti ini sama sekali tidak adil, dan sepertinya tidak mengharapkan keridhaan Allah.’ Kemudian berkata, ‘Demi Allah, hal ini akan saya beritahukan kepada Rasulullah saw.’
Saya pun mendatanginya dan lalu menceritakan kepadanya tentang apa yang dikatakan oleh orang itu. Maka berubahlah warna wajah beliau sehingga menjadi semacam kesumba merah (karena marah), lalu bersabda, ‘Siapakah yang dapat dinakaman adil, jika Allah dan Rasul-Nya dianggap tidak adil juga?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Semoga Allah senantiasa merahmati Nabi Musa. Ia telah disakiti dengan cara yang lebih parah dari ini, tetapi ia tetap sabar.’ Saya berkata, ‘Semestinya saya tidak memberitahukan dan tidak akan mengadukan lagi sesuatu pembicaraan pun setelah peristiwa itu.’ (Muttafaqun ‘alaih. HR. Al-Bukhari: 3150 dan Muslim: 1062)
Sabda Nabi saw. Kashshirfi dengan kasrahnya shad muhmalah, artinya kesumba merah.
Penjelasan: Hadits ini sebagai dalil bahwa seorang imam harus memperhatikan maslahat dalam pembagian sesuatu walaupun dalam pembagiannya itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, jika di sana ada maslahat karena Islam. Bukan karena kepentingan pribadi atau dia memberi kepada orang yang disayang dan tidak memberi pada orang yang dibenci. Hadits ini juga sebagai dalil bahwa Rasulullah saw. mengambil pelajaran dari para rasul terdahulu.
19/43. Anas ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba-Nya, maka Dia mempercepat suatu siksaan (penderitaan) di dunia. Namun, bila Allah menghendaki kejelekan pada seorang hamba-Nya, maka orang itu dibiarkan saja dengan dosanya sehingga nanti akan dipenuhkan balasan (siksaannya) pada hari kiamat.”
Dan Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya besarnya balasan (pahala) itu dilihat dari besarnya cobaan dan sesungguhnya Allah itu apabila mencintai suatu kaum, maka mereka itu diberi cobaan. Oleh sebab itu, barangsiapa yang ridha, ia akan mendapatkan keridhaan dari Allah. Dan barangsiapa yang murka maka ia mendapatkan kemurkaan Allah.” (HR. At-Tirmidzi: 2396 dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
Penjelasan: Hadits ini menjelaskan tentang kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa apabila seorang muslim diuji dengan sebuah musibah, lalu ia tidak berburuk sangka bahwa Allah membencinya. Bahkan, musibah ini terkadang sebagai bentuk kecintaan Allah kepada seorang hamba, dimana Dia akan mengujinya dengan berbagai musibah. Maka apabila seorang hamba itu ridha, sabra, dan mengharap keridhaan Allah, maka baginya keridhaan. Adapun bila ia murka, baginya murka Allah.
20/44. Anas ra. berkata, “Abu Thalhah mempunyai seorang putra yang sedang menderita sakit. Ketika Abu Thalhah keluar (pergi keluar rumah), anaknya pun meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah kembali, ia bertanya, ‘Bagaimanakah keadaan anakku?’ Ummu Sulaim (ibu anak tersebut) menjawab, ‘Ia dalam keadaan lebih tenang dari sebelumnya.’ Istrinya (Ummu Sulaim) kemudian menyiapkan makan malam untuk kemudian Abu Thalhah pun makan malam, selanjutnya ia pun menggauli istrinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, ‘Anak itu telah dimakamkan.’
Tatkala pagi telah tiba, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah saw. lalu memberitahukan kejadian tersebut. Maka Nabi saw. bersabda, ‘Apakah tadi malam kalian menjadi pengantin?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Ya’. Beliau lalu berdoa, ‘Ya Allah, berkahilah mereka berdua.’
Selanjutnya Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak lelaki. Abu Thalhah lalu berkata kepadaku (Anas ra.), ‘Bawalah anak ini kepada Nabi saw..’ Dan disertakanlah bersamanya beberapa biji buah kurma.’ Lalu buah kurma itu diambil oleh Nabi saw. lantas mengunyahnya, kemudian beliau mengambil kunyahan dari mulutnya, selanjutnya memasukkannya ke dalam mulut bayi tersebut. Setelah itu, digosokkan di langit-langit mulutnya dan memberinya nama Abdullah.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Al-Bukhari: 5407 dan Muslim: 2144)
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, Ibnu ‘Uyainah berkata, “Maka seorang lelaki dari anshar berkata, ‘Lalu saya melihat sembilan anak laki-laki yang semuanya para pembaca (penghafal) Al-Qur’an. Semuanya adalah anak-anak ‘Abdullah yang dilahirkan tersebut’.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, lalu istrinya berkata kepada keluarganya, ‘Janganlah kalian memberi tahukan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya. Biar aku sendiri yang akan memberitahukan kepadanya.’ Abu Thalhah kemudian datang dan Ummu Sulaim menyiapkan makan malam untuknya dan Abu Thalhah pun makan da minum. Selanjutnya Ummu Sulaim berhias untuknya dengan dandanan paling indah dari dandanan yang pernah ia lakukan sebelumnya. Lalu Abu Thalhah menggaulinya.
Sewaktu istrinya telah mengetahui bahwa suaminya telah kenyang dan selesai dari hasratnya, ia pun berkta kepada Abu Thalhah, ‘Bagaimanakah pendapatmu jika suatu kaum meminjamkan sesuatu yang dipinjamkannya kepada salah satu keluarga, kemudian mereka meminta kembali apa yang dipinjamkannya. Patutkah keluarga yang meminjamnya itu menolak untuk mengembalikannya kepada yang meminjaminya?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Tidak boleh.’ Kemudian istrinya pun berkata, ‘Jika demikian, bersabarlah dan harapkanlah pahala terhadap (kematian) anakmu.’
Abu Thalhah lalu marah kemudian berkata, ‘Engkau biarkan aku tidak mengetahui hingga berlumuran janabah, lalu engkau beritahukan perihal anakku itu padaku?’ Ia pun kemudian bergegas ke tempat Rasulullah saw. dan mengadukan segala sesuatu yang telah terjadi. Rasulullah saw. pun bersabda, ‘Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu’.”
Ia (Anas ra.) berkata, “Kemudian Ummu Sulaim pun hamil. Anas ra. kemudian berkata, ‘Rasulullah saw. sedang bepergian dan Ummu Sulaim menyertainya. Apabila beliau datang di Madinah di waktu malam dari bepergian, beliau tidak pernah mendatangi rumah keluarganya malam-malam. Ummu Sulaim tiba-tiba merasa sakit karena hendak melahirkan, maka oleh karenanya Abu Thalhah tertahan dan Rasulullah saw. terus berangkat’.”
Anas berkata, “Abu Thalhah berkata, ‘Sesungguhnya Engkau tentulah Maha Mengetahui, ya Rabbku bahwa saya ini sangat ingin sekali untuk keluar bepergian bersama Rasulullah saw. di waktu beliau keluar bepergian, dan untuk masuk bersama beliau di waktu beliau masuk. Sesungguhnya saya telah tertahan pada saat ini dengan sebab sebagaimana yang Engkau ketahui.’ Ummu Sulaim berkata, ‘Hai Abu Thalhah, saya tidak merasakan sakitnya hendak melahirkan sebagaimana yang biasanya saya rasakan (hendak melahirkan). Maka, berangkatlah.’ Maka, kami pun berangkat. Ummu Sulaim sebenarnya memang merasakan sakit hendak melahirkan. Oleh karena itu, ketika keduanya telah tiba, lalu Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Maka ibuku (ibu Anas ra.) berkata padaku, ‘’Hai Anas, janganlah anak itu disusui oleh siapapun hingga engkau berpagi-pagi membawa anak itu kepada Rasulullah saw.. Ketika tiba waktu pagi, saya (Anas ra.) membawa anak itu kepada Rasulullah saw. dan selanjutnya saya menceritakan hadits ini sampai selesai.
Penjelasan: Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya air liur Nabi saw. mengandung berkah dan para shahabat biasanya mencari berkah dari air liur beliau. Para shahabat juga apabila melihat Nabi saw. berwudhu untuk shalat, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan sisa air wudhunya. Selain itu, dari kurma yang ditahnikkan oleh Rasulullah yang mulia kepada bayi, bahwa kurma itu mengandung kebaikan dan berkah, serta mengandung manfaat untuk pencernaan. (HR. Al-Bukhari:5407 dan Muslim: 2144)
21/45. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai berkelahi. Orang yang kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika sedang marah.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 6114 dan Muslim: 107/2609)
Ash-shura’ah dengan dhammahnya shad dan fathahnya ra, menurut asalnya menurut bangsa Arab adalah orang yang sering berkelahi dengan orang lain.
22/46. Sulaiman bin Shurad ra berkata, “Saya duduk bersama Nabi saw. dan di sana ada dua orang laki-laki yang saling memaki. Salah seorang dari keduanya itu telah merah mukanya dan membesarlah urat lehernya. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila kalimat itu dibaca, niscaya hilanglah apa yang terjadi, yaitu apabila ia membaca a’udzu billahi minasy syaithanir rajim, niscaya hilanglah apa yang sedang terjadi. Lalu mereka berkata padanya, ‘Sesungguhnya Nabi saw. bersabda, ‘Mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk’.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 6115 dan Muslim: 110/2610)
Penjelasan: (Hadits no 45 dan 46) Dalam hadits ini (terdapat) anjuran bagi seorang hamba hendaknya ia mengendalikan dirinya ketika marah dan jika ia tidak bisa menahan amarahnya, maka sungguh ia akan menyesal setelah marah. Dan kebanyak orang yang marah itu suka menghambur-hamburkan hartanya, apakah itu dengan membakar atau menghancurkannya.
23/47. Dari Mu’adz bin Anas ra. bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menahan marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah swt. menyerunya di hadapan kepala (disaksikan) seluruh makhluk pada hari kiamat, sehingga orang itu memilih bidadari cantik dengan sesuka hatinya.” (HR. Abu Daud: 4777 dan At-Tirmidzi mengatakan, hadits hasan. Al-Albani menghasankannya)
24//48. Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi saw, ‘Berilah wasiat kepadaku.” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Orang itu mengulanginya berkali-kali tetapi beliau tetap bersabda, “Jangan marah.” (HR. Al-Bukhari: 6116)
25/49. Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa mendapat cobaan baik dari dirinya, anaknya, maupun hartanya sehinggan ia menghadap Allah swt tanpa membawa dosa sedikitpun.” (HR. At-Tirmidzi:2399 dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih. Al-Albani menshahihkannya)
Penjelasan: (Hadits no 47,48, dan 49) Dalam hadits ini sebagai dalil atas keutamaan sabar, dan bahwa seorang hamba apabila bersabar dan mengharap pahala dari Allah, maka Allah akan menghapus semua kesalahannya. Karena, musibah yang menimpa pada diri, anak, dan harta merupakan sebagai penghapus dosa bagi seorang hamba.
26/50. Ibnu ‘Abbas ra. berkata, ‘Ketika ‘Uyainah bin Hishn datang kemudian menginap di tempat anak saudara sepupunya, yaitu Al-Hurr bin Qais, ia mreupakan salah seorang yang dekat dengan Umar ra.. Dan Umar ra. mengangkat orang-orang yang pandai membaca Al-Qur’an sebagai kawan dan bermusyawarah dalam majelisnya, baik yang tua maupun yang masih muda usianya. ‘Uyainah berkata kepada sepupunya, ‘Hai anak saudaraku, kamu adalah orang yang dekat dengan Amirul Mukminin, maka mintakan izin padanya agar aku dapat menemunya.’ Kemudian saudaranya itu memintakan izin dan Umar pun mengizinkannya. Ketika ‘Uyainah masuk, ia berkata, ‘Wahai putra Al-Khaththab, demi Allah engkau tidak berbuat banyak terhadap kami dan engkau tidak adil dalam mengadili kami.’
Maka marahlah Umar ra. sehingga hampir saja ia dipukulinya. Kemudian Al-Hurr berkata kepada Umar, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman kepada Nabi-Nya saw.. ‘Berikanlah maaf, perintahlah untuk berbuat baik, dan jangan menghiraukan orang-orang yang bodoh.’ Demi Allah, ketika ayat ini dibacakan, Umar seakan-akan belum pernah mendengarnya, padahal Umar adalah orang yang sangat teliti terhadap kitab Allah Ta’ala.” (HR. Al-Bukhari: 4642)
Penjelasan: Faedah dari hadits ini bahwa seorang muslim itu mampu mengendalikan dirinya ketika marah, dan hendaknya ia membaca Kitabullah dan ayat-ayatnya. Selain itu, hendaknya ia memaafkan atas ketidaktahuan mereka dan membiarkan mereka selama penentangannya tidak menghinakan dan tidak berkhianat.
27/51. Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya sepeninggalku nanti akan ada sifat-sifat (para pemimpin) yang hanya mementingkan dirinya sendiri (egois) dan beberapa perkara yang kalian mengingkarinya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan pada kami (jika kami menemui zaman itu)?” Beliau bersabda, “Tunaikanlah hak yang diwajibkan atas kalian dan mohonlah kepada Allah yang menjadi hak kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 3604 dan Muslim: 1843)
Al-atsarah adalah menyendiri dengan sesuatu dari orang yang terdapat hak padanya. (sifat memntingkan diri sendiri/egois).
28/52. Dari Abu Yahya Usaid bin Hudhair ra. bahwa ada seorang lelaki dari kaum Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mempekerjakan saya sebagaimana engkau telah mempekerjakan si Fulan?” Beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya sepeninggalku nanti kalian akan mendapatkan orang yang suka mementingkan diri sendiri maka bersabarlah sampai kalian bertemu denganku di Telaga Kautsar.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 3792 dan Muslim: 1845)
Usaidun dengan hamzah didhammah dan hudhairun dengan ha yang didhammahkan dan dhadh yang difathahkan. Wallahu a’lam.
Penjelasan: (Hadits no 51 dan 52) Dalam kedua hadits ini terdapat anjuran untuk bersabar atas sifat otoriternya seorang pemimpin dalam menjalankan haknya. Akan tetapi, kita harus mengetahui bahwa setiap manusia menjadi pemimpin atas mereka.
29/53.
Dari Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Abu Aufa ra., Rasulullah saw. pada sebagian hari-hari yang padanya beliau bertemu musuh, beliau menunggu sehingga matahari tergelincir lalu beliau berdiri di tengah-tengah para shahabat seraya bersabda, “Wahai manusia, janganlah kalian berharap bertemu musuh dan mintalah selalu keselamatan (kesehatan). Adapun jika kalian bertemu musuh, maka bersabarlah. Ketahuilah bahwa surga itu berada di bawah naungan pedang.” Selanjutnya Nabi saw. berdoa, “Ya Allah yang menurunkan kitab, yang menjalankan awan, yang mengalahkan musuh, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami memperoleh kemenangan atas mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi. HR. Al-Bukhari: 2965 dan Muslim: 1742)
Penjelasan: Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya bahwa seorang manusia tidak boleh mengharapkan pertemuan dengan musuh dan memohon keselamatan kepada Allah dari pertemuan dengan musuh. Adapun ketika bertemu dengan musuh, maka bersabarlah dan berdoalah untuk kekalahan musuh, karena sesungguhnya mereka itu adalah musuhmu dan musuh Allah.